Kamis, 06 Maret 2008
KEMISKINAN YANG MEMBUNUH


SEORANG ibu yang sedang hamil tujuh bulan meninggal dunia bersama anaknya yang berusia lima tahun. Mereka meregang nyawa di rumah mereka yang terletak di sebuah sudut Kota Makassar.

Kematian istri dan anak dari keluarga penarik becak di Makassar ini semula dianggap sebagai tragedi kemanusiaan biasa. Tetapi kemudian menjadi luar biasa ketika diketahui bahwa kematian mereka disebabkan oleh ketiadaan beras untuk makan.

Kemiskinan telah memperoleh kebengisan nyata dalam tragedi Daeng Basse, nama ibu yang meninggal karena ketiadaan apa-apa lagi untuk dimakan itu. Kemiskinan menjadi sangat riil dan tragis. Kemiskinan telah memangsa manusia secara ganas.

Kehidupan dan kematian Daeng Basse seharusnya membuka kesadaran baru tentang kemiskinan di Indonesia. Almarhumah meninggalkan desanya di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, untuk beradu nasib di Makassar, kota yang menjanjikan perbaikan hidup. Di Makassar dia bekerja sebagai tukang cuci, menopang penghasilan suaminya yang berjuang sebagai tukang becak.

Penghasilan mereka statis, sedangkan harga-harga terus melonjak naik di luar kontrol bersamaan dengan kebutuhan yang juga meningkat karena keduanya beranak-pinak. Akhirnya tragedi itu datang. Selama tiga hari mereka tidak makan apa-apa. Sang ibu yang sedang hamil bersama anaknya yang berusia lima tahun meninggal. Anak yang satu lagi harus dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan sekarat.

Cerita tentang Daeng Basse adalah kisah tentang malapetaka yang amat nyata dan memilukan. Jutaan manusia Indonesia di kota maupun di desa bergelut dengan kehidupan seperti Daeng Basse. Data Bappenas memperlihatkan 37 juta manusia Indonesia adalah orang miskin.

Kemiskinan yang amat nyata dan kejam itu, dalam perspektif bernegara, menjadi suram karena pendekatan-pendekatan agregat. Kemiskinan menjadi relatif ketika didekati secara statistik dan persentase. Padahal kemiskinan itu dilalui dan dialami nyata oleh orang miskin. Bagi mereka, kemiskinan itu absolut.

Pemerintah dan negara merasa bangga ketika dalam angka berhasil mengurangi orang miskin sepersekian persen. Padahal berkurangnya angka kemiskinan tidak mengurangi apa-apa pada hakikat orang-orang yang masih mengalami kemiskinan itu sendiri. Bagi orang-orang miskin, kemiskinan itu tetaplah pergulatan duka yang absolut dan mematikan.

Tragedi kemiskinan akan bertambah parah dan luas ketika negara gagal memacu perbaikan mutu kehidupan. Inflasi yang meningkat karena harga barang kebutuhan pokok yang terus meroket menambah tidak saja jumlah orang miskin, tetapi keganasan kemiskinan yang membunuh.

Dengan demikian, kemiskinan harus dianggap sebagai kejahatan karena membunuh warga. Karena itu, negara yang gagal memerangi kemiskinan adalah negara yang jahat karena telah membiarkan warganya dimangsa oleh kemiskinan. Kejahatan negara bertambah hebat ketika kemiskinan warganya disebabkan oleh rezim yang korup.

Tragedi Daeng Basse adalah tragedi cara pandang negara terhadap kemiskinan. Pemerintah lokal Makassar coba membela diri bahwa Daeng Basse tidak meninggal karena kekurangan makan, tetapi karena diare. Kalau Daeng Basse tidak miskin, tentu diare tidak menyebabkan kematian yang memilukan itu.

Jadi, tragedi Daeng Basse harus menjadi pukulan memalukan bagi negara yang terlalu lama tidak mampu memerangi kemiskinan. Kemiskinan itu nyata, ganas, dan absolut. Tidak relatif.

Sumber: Media Indonesia Online
posted by rafkirasyid @ 00.02  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
About Me


Name: rafkirasyid
Home: Batam, Kepulauan Riau, Indonesia
About Me: Rafki Rasyid merupakan dosen di beberapa perguruan tinggi di Batam. Saat ini beliau aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan dan partai politik. Parpol yang dipilihnya adalah Partai Amanat Nasional. Selain aktif mengajar dan organisasi, beliau juga aktif menulis di berbagai media masa.
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Presented By
Rafki Rasyid