Minggu, 17 Februari 2008 |
Perda Zalim!! |
WARGA pemurah hati di Ibu Kota Jakarta berhati-hatilah. Simpan niat baikmu rapat-rapat karena kedermawanan bisa mencelakakan Anda.
Juga kaum miskin. Meminggirlah dari Ibu Kota jika Anda tidak ingin digiring masuk bui atau dikenai denda jutaan rupiah hanya karena Anda mendendangkan lagu menghibur penumpang yang sumpek dalam bus kota.
Peringatan itu bukan mengada-ada. Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum mulai berlaku setelah Departemen Dalam Negeri mengesahkannya. Meski perda yang tidak berperikemanusiaan itu ditentang sejak awal, pemerintah daerah tak menggubrisnya dan pemerintah pusat tak menghiraukannya.
Perda itu jelas-jelas membidik kaum miskin. Warga miskin yang mengemis di jalan, pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar, pengamen yang naik-turun bus kota, dan mereka yang meminta sumbangan di jalan diancam penjara ataupun denda.
Ironisnya, dermawan yang memberi sedekah kepada kaum duafa pun bisa dijerat perda itu dengan ancaman penjara 60 hari atau denda hingga Rp20 juta.
Perda Ketertiban Umum itu merupakan pengakuan ketidakmampuan pemerintah daerah memberantas kemiskinan warganya. Ia juga pengakuan bahwa pemerintah DKI Jakarta tidak sanggup melaksanakan perintah konstitusi. Kaum miskin dan anak telantar, yang harus dipelihara negara, dalam perda itu dihempaskan. Ketika pemerintah tidak mampu menyejahterakan warganya, warga miskin dikriminalisasikan. Warga yang miskin dan terpinggirkan harus disingkirkan. Melalui perda itu, daerah secara sadar dan sengaja hendak 'membunuh' anak bangsanya sendiri.
Akan tetapi, bisa dipastikan Perda Ketertiban Umum itu hanya mengerikan dan menakutkan di atas kertas. Tak akan diindahkan. Pengemis tak akan berhenti mengemis karena memang tidak ada lapangan pekerjaan yang tersedia. Pengamen pun tak akan pensiun berdendang demi sesuap nasi. Sesungguhnya, siapakah yang ingin menjadi pengemis? Siapakah yang bangga menjadi miskin?
Mengemis, mengamen, berdagang kaki lima di trotoar menyangkut perut, menyangkut hak untuk hidup. Logis muncul perlawanan.
Perbandingannya, larangan merokok saja dilanggar. Ancaman denda Rp50 juta dalam Perda Nomor 2 Tahun 2005 mengenai larangan merokok hanya jadi pajangan. Orang masih leluasa merokok di berbagai tempat umum, termasuk di dalam bus-bus kota dan mal-mal. Bahkan di kantor-kantor dan gedung-gedung pemerintah. Masih sangat banyak ruang publik tidak menyediakan tempat khusus merokok dan tidak ada tindakan terhadap pelanggarannya.
Pemerintah daerah dan DPRD hanya bernafsu membuat perda tanpa mengawasi pelaksanaannya. Perda hanyalah deretan angka-angka proyek yang mesti diselesaikan sesuai dengan target tanpa memedulikan kelanjutannya. Perda dibuat, disahkan, kemudian disimpan untuk sekian tahun kemudian diganti atau direvisi dalam proyek baru. Celakanya, pemerintah daerah dan DPRD merasa prestasi mereka diukur dari tumpukan perda, bukan kualitas aturan dan pelaksanaannya.
Mestinya perda disusun atas dasar niat baik untuk mengatur tata ruang ketertiban umum. Namun, niat baik itu ditelan pasal-pasal yang ternyata mengkriminalisasikan kemiskinan.
Sumber: Media IndonesiaLabel: Umum |
posted by rafkirasyid @ 09.21 |
|
|
|
About Me |
Name: rafkirasyid
Home: Batam, Kepulauan Riau, Indonesia
About Me: Rafki Rasyid merupakan dosen di beberapa perguruan tinggi di Batam. Saat ini beliau aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan dan partai politik. Parpol yang dipilihnya adalah Partai Amanat Nasional. Selain aktif mengajar dan organisasi, beliau juga aktif menulis di berbagai media masa.
See my complete profile
|
Previous Post |
|
Archives |
|
Links |
|
Presented By |
|
|