Sabtu, 29 Desember 2007
BERPOLITIK YANG BERETIKA
(Tanggapan Atas Sikap Tidak Etis Anggota DPRD Batam Terhadap Walikota Batam)
OLEH: RAFKI RS, SE. MM

Dengan tidak bermaksud menyentuh substansi perdebatan antara legislatif dan eksekutif masalah kenaikkan tarif PPJ, tulisan ini hanya bermaksud sedikit menawarkan pemikiran sederhana akan pentingnya etika dalam berpolitik.

Publik dibuat terkaget-kaget tatkala disuguhi beberapa kali tontonan ala preman di gedung DPR RI, melalui aksi saling tonjok dan aksi saling merendahkan martabat orang lain diantara beberapa anggota DPR yang terhormat. Masih jelas diingatan kita kala dulu Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pernah dikatakan sebagai “Ustadz di kampung Maling”.

Nampaknya perilaku anggota dewan di pusat ini, mulai menular ke anggota DPRD di daerah. Baru beberapa hari yang lalu dalam sebuah sidang resmi seorang walikota yang notabene adalah pucuk pemerintahan di kota ini disarankan mesti “cukur kumis” dan bahkan kabarnya sempat juga keluar kata-kata “banci” dalam sidang yang terhormat itu. Sampai tulisan ini dibuat masalah “kumis Pak Wali” ini masih jadi perbincangan hangat di masyarakat.

Ini merupakan drama yang tidak elok yang ditampilkan oleh anggota dewan yang ditahbiskan sebagai kumpulan orang-orang terhormat tersebut. Adakah ini terkait dengan problem etika yang tengah menuju titik nadir? Di samping kalimat sarkastik dari salah seorang anggota dewan itu, apa sebetulnya yang memantik ucapan miring tersebut? Seterusnya adakah ini akan mendelegitimasi peran strategis DPRD di hadapan rakyat? Pertanyaan-pertanyaan ini terus bermunculan di kepala penulis, dan mungkin juga dibenak sebagian besar masyarakat.

Dalam praktik politik keseharian, politik seringkali bermakna kekuasaan yang serba elitis, daripada kekuasaan yang berwajah populis dan untuk kesejahteraan masyarakat. Politik identik dengan cara bagaimana kekuasaan diraih, dan dengan cara apapun meskipun bertentangan dengan pandangan umum.

Karena itulah, di samping aturan legal formal berupa konstitusi, politik berikut praktiknya perlu pula dibatasi dengan etika. Etika politik digunakan membatasi, meregulasi, melarang dan memerintahkan tindakan mana yang diperlukan dan mana yang dijauhi.

Etika politik yang bersifat sangat umum dan dibangun melalui karakteristik masyarakat bersangkutan amat diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam aturan secara legal formal. Jadi etika politik lebih bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan moral.

Akibat luasnya cakupan etika politik itulah maka seringkali keberadaannya bersifat sangat kendor, dan mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah. Ditunjang dengan alam kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa malu dan merasa bersalah bisa dengan mudah diabaikan. Akibatnya ada dua hal: pudarnya nilai-nilai etis yang sudah ada, dan tidak berkembangnya nilai-nilai tersebut sesuai dengan moralitas publik setempat.

Untuk memaafkan fenomena tersebut, lalu berkembang budaya permisif, semua serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa atau belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh karena untuk membuka seluas-luasnya upaya mencapai kekuasaan (dan uang) dengan mudah.
Tanpa kita sadari, nilai etis politik kita cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral sebagaimana diajarkan secara baik oleh kapitalisme. Buktinya, ketika semua harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si penjabatnya. Itulah mengapa para kritisi dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika dalam bidang politik (dan bidang lainnya) sedang berlarian tunggang langgang menuju ke arah ”jual beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang.

Etika, atau filsafat moral (Teichman, 1998) mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik, dengan demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Tidak. Standar baik dalam konteks politik bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan yang sangat pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri serba ”reformasi” ini.

Di sisi lain nasionalisme kita berubah menjadi ”kebangsaan uang”. Tidak terlalu digubris bahwa nasionalisme kita hanya akan berkembang dengan subur di alam demokrasi ini bila Pancasila dijadikan acuan dalam etika politik. Etika politik bisa berjalan kalau ada penghormatan terhadap kemanusiaan dan keadilan. Ini merupakan prasyarat mendasar yang perlu dijadikan acuan bersama dalam merumuskan politik demokratis yang berbasis etika dan moralitas.
Ketidakjelasan secara etis berbagai tindakan politik di negeri ini membuat keadaban publik saat ini mengalami kehancuran. Fungsi pelindung rakyat tidak berjalan sesuai komitmen. Keadaban publik yang hancur inilah yang seringkali merusak wajah hukum, budaya, pendidikan dan agama. Rusaknya sendi-sendi ini membuat wajah masa depan bangsa ini semakin kabur. Sebuah kekaburan yang disebabkan karena etika tidak dijadikan acuan dalam kehidupan politik.
Publik hanya disuguhi hal yang menyenangkan dan bersifat indrawi belaka. Artinya hanya diberi harapan tanpa realisasi. Inilah yang membuat publik terajari agar menerapkan orientasi hidup untuk mencari gampangnya saja. Keadaban kita sungguh-sungguh kehilangan daya untuk memperbarui dirinya.

Oleh karena itu, buat penulis kelewat arogan, kalau atas nama fungsi kontrol, segala hal termasuk menyindir dan mengumpat dilontarkan anggota dewan. DPRD sebagai lembaga politik yang makin adikuasa pascaamendemen UUD 1945, tak boleh memerankan dirinya sebagai lembaga yang sulit diajak bekerjasama. Pemerintah adalah partner belaka dan bukannya lawan yang harus "dilibas" setiap kali berlangsung rapat kerja DPRD dan pemerintah.
Lawrence Kohlberg (tokoh penting pendidikan moral) mengingatkan kita bahwa perkembangan moral seseorang itu pada dasarnya berpusat pada ranah kognitif, sementara moralitas umumnya lebih bersifat interaksional. Sebagian kita barangkali memiliki persepsi moral tinggi (kognitif), namun kalau itu tidak diasah dalam lapangan praktis --lewat interaksi dengan sesama manusia-- mungkin saja potensi moral tinggi yang dimilikinya tidak akan berkembang.

Di lapangan praktislah empati seseorang akan berkembang sehingga tidak membentuk pribadi yang selalu merasa menang sendiri. Setelah “kericuhan” ini, kita berharap hubungan DPRD dan pemerintah dapat keluar cekaman emosi dari masing-masing pihak. Masih banyak agenda lain yang menunggu uluran tangan dan sumbang pemikiran dari Bapak-Bapak kita di DPRD. Janganlah lagi kepercayaan rakyat yang sudah terlanjur erosi semakin di lunturkan lagi dengan adanya permasalahan ini. Cobalah kembali merajut kepercayaan rakyat yang terlanjur tererosi tersebut. Minimal, dengan menampilkan panggung politik yang penuh etika dan menjunjung tinggi kehormatan dan moral.


Batam, 30 November 2007

Label:

posted by rafkirasyid @ 00.47  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
About Me


Name: rafkirasyid
Home: Batam, Kepulauan Riau, Indonesia
About Me: Rafki Rasyid merupakan dosen di beberapa perguruan tinggi di Batam. Saat ini beliau aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan dan partai politik. Parpol yang dipilihnya adalah Partai Amanat Nasional. Selain aktif mengajar dan organisasi, beliau juga aktif menulis di berbagai media masa.
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Presented By
Rafki Rasyid